Jakarta– Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa wakil menteri (wamen) dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris maupun direksi di BUMN, perusahaan swasta, serta organisasi yang dibiayai APBN/APBD.
Penegasan ini disampaikan dalam sidang putusan perkara Nomor 21/PUU-XXIII/2025 di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (17/7). Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri juga otomatis berlaku bagi wakil menteri, sehingga jabatan wakil menteri bersifat penuh waktu dan tidak boleh dirangkap dengan jabatan lain yang memiliki pertanggungjawaban langsung kepada presiden.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan, meskipun perkara ini tidak dapat dilanjutkan karena pemohon, Juhaidy Rizaldy Roringkon, meninggal dunia sebelum putusan dibacakan, MK tetap menegaskan ketentuan hukum terkait larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri. Hal ini berdasarkan putusan sebelumnya, yakni Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang menyatakan menteri tidak boleh merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi BUMN maupun jabatan lain.
“MK menegaskan jabatan wakil menteri bersifat penuh waktu sehingga tidak dapat dirangkap dengan jabatan lain, termasuk komisaris BUMN, jabatan direksi BUMN, jabatan lain yang memiliki pertanggungjawaban kepada presiden, maupun jabatan lain yang dibiayai APBN dan APBD,” kata Saldi Isra dalam sidang.
Putusan ini menjadi pengingat kepada pemerintah agar segera menindaklanjuti larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri, yang hingga kini masih terjadi di sejumlah posisi. Tercatat, hingga saat ini masih terdapat sejumlah wakil menteri yang menjabat sebagai komisaris di beberapa BUMN.
Ahli hukum tata negara Feri Amsari sebelumnya menyebut, rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN adalah bentuk inkonstitusional yang seharusnya tidak terjadi lagi, karena membuka potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.Dengan adanya penegasan MK ini, pemerintah diharapkan segera menertibkan jabatan rangkap bagi wakil menteri agar sesuai dengan konstitusi serta prinsip good governance di Indonesia.
(*)
Editor : Redaksi