Padang – Ancaman terhadap hutan dan masyarakat adat di Mentawai menjadi sorotan dalam acara diseminasi hasil liputan investigasi kolaborasi bertajuk “Menyelamatkan Mentawai dari Keserakahan” yang digelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) Simpul Sumatera Barat di Kantor AJI Padang, Jumat (26/9/2025) kemaren.
Liputan investigasi ini merupakan kerja sama enam media, yakni Tempo, KBR, Langgam, Mentawaikita, Law-Justice, dan Ekuatorial melalui platform Depati Project. Acara diawali dengan pemutaran video di balik layar proses investigasi terkait rencana eksploitasi besar-besaran di Pulau Sipora, salah satu pulau kecil di Mentawai yang sangat rentan secara ekologis.
Perwakilan Forum Mahasiswa Mentawai, Markolinus Sagulu, menegaskan bahwa hutan bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga kehidupan dan identitas budaya masyarakat Mentawai. Ia menilai rencana konsesi perusahaan besar di Sipora merupakan ancaman serius terhadap eksistensi masyarakat adat.
“Omong kosong Bupati Kepulauan Mentawai,” ucap Markolinus lantang, menyinggung inkonsistensi pemerintah daerah yang dianggap gagal menindaklanjuti komitmen dengan masyarakat.
Senada, Gerson Saleleubaja dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCM) menyebut pemberian persetujuan penggunaan lahan oleh pemerintah pusat rawan memicu konflik. Pasalnya, banyak areal yang diklaim perusahaan tumpang tindih dengan hutan adat yang telah diakui secara hukum.
“Jika tidak melibatkan pemilik hak ulayat, kebijakan ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial,” ujarnya.Dari sisi advokasi lingkungan, Indah dari Walhi Sumbar menyoroti cacat prosedural dalam izin PT SPS. Menurutnya, dokumen Amdal perusahaan tidak menyertakan kajian mitigasi bencana meski Sipora adalah pulau kecil dengan tingkat kerentanan tinggi. Selain itu, tidak ada sosialisasi menyeluruh ke masyarakat, bahkan tujuh desa tegas menolak konsesi tersebut.
“Prinsip FPIC, persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan, seharusnya dihormati. Namun dalam kasus ini diabaikan,” kata Indah.
Yose Hendra, jurnalis Langgam.id sekaligus kolaborator Depati Project, juga menyinggung sosok pemilik PT SPS, Haji Bahrial, yang namanya kerap muncul dalam konflik agraria dan pertambangan di Sumatera Barat. Hal ini memperkuat kekhawatiran publik akan terulangnya sengketa lahan.
Depati Project memilih Sipora sebagai fokus investigasi karena meski berukuran kecil, pulau ini memiliki hutan luas sekitar 21 ribu hektare yang kini terancam. “Ketika hutan hilang, air pun hilang, dan masyarakat kehilangan segalanya,” ujar Aidil Ichlas, Strategi Komunikasi dan Kampanye Depati Project.
Editor : Redaksi